Beranda

free counters
Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year

Jumat, 08 Juli 2011

Apakah Mimpi Basah Termasuk Pembatal Puasa?


Ada sebuah pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[1], “Jika orang yang berpuasa mimpi basah di siang hari bulan Ramadhan, apakah puasanya batal? Apakah dia wajib untuk bersegera untuk mandi wajib?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Mimpi basah tidak membatalkan puasa karena mimpi basah dilakukan bukan atas pilihan orang yang berpuasa. Ia punya keharusan untuk mandi wajib (mandi junub) jika ia melihat yang basah adalah air mani. Jika ia mimpi basah setelah shalat shubuh dan ia mengakhirkan mandi junub sampai waktu zhuhur, maka itu tidak mengapa.
Begitu pula jika ia berhubungan intim dengan istrinya di malam hari dan ia tidak mandi kecuali setelah masuk Shubuh, maka seperti itu tidak mengapa. Mengenai hal ini diterangkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk Shubuh dalam keadaan junub karena sehabis berhubungan intim dengan istrinya. Kemudian beliau mandi junub dan masih tetap berpuasa.
Begitu pula wanita haidh dan nifas, jika mereka telah suci di malam hari dan ia belum mandi melainkan setelah masuk Shubuh, maka seperti itu tidak mengapa. Jika mereka berpuasa, puasanya tetap sah. Namun tidak boleh bagi mereka-mereka tadi menunda mandi wajib (mandi junub) dan menunda shalat hingga terbit matahari. Bahkan mereka harus menyegerakan mandi wajib sebelum terbit matahari agar mereka dapat mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Sedangkan bagi kaum pria, ia harus segera mandi wajib sebelum shalat Shubuh sehingga ia bisa melaksanakan shalat secara berjama’ah. Sedangkan untuk wanita haidh dan nifas yang ia suci di tengah malam (dan masih waktu Isya’, pen), maka hendaklah ia menyegerakan mandi wajib sehingga ia bisa melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ sekaligus di malam itu. Demikian fatwa sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula jika wanita haidh dan nifas suci di waktu ‘Ashar, maka wajib bagi mereka untuk segera mandi wajib sehingga mereka bisa melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar sebelum tenggelamnya matahari.
Wallahu waliyyut taufiq.
Demikian Fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.[2]
***
Hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk shubuh dalam keadaan junub adalah sebagai berikut.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.[3]
Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.[4]
Pelajaran yang bisa diambil dari fatwa di atas:
  1. Mimpi basah tidak membatalkan puasa karena bukan pilihan seseorang untuk mimpi basah.
  2. Jika mimpi basahnya setelah waktu Shubuh, maka orang yang junub boleh menunda mandi wajibnya hingga waktu Zhuhur.
  3. Jika junub karena mimpi basah atau hubungan intim dengan istri di malam hari, maka bagi pria yang wajib menunaikan shalat berjama’ahdiharuskan segera mandi wajib sebelum pelaksanaan shalat Shubuh agar ia dapat menunaikan shalat Shubuh secara berjama’ah di masjid.
  4. Jika wanita suci di malam hari dan setelah berakhir waktu shalat isya’ (setelah pertengahan malam[5]), maka ia boleh menunda mandi wajib hingga waktu Shubuh asalkan sebelum matahari terbit supaya ia dapat melaksanakn shalat Shubuh tepat waktu.
  5. Jika wanita haidh dan nifas suci di waktu Isya’ (sampai pertengahan malam), maka ia diharuskan segera mandi, lalu ia mengerjakan shalat Maghrib dan Isya’ sekaligus. Demikian fatwa sebagian sahabat. Begitu pula jika wanita haidh dan nifas suci di waktu Ashar, maka ia diharuskan segera mandi, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus.
  6. Jika orang yang junub, wanita haidh dan nifas masuk waktu Shubuh dalam keadaan belum mandi wajib, maka mereka tetap sah melakukan puasa.
Mengenai permasalah wanita haidh dan nifas yang suci di waktu shalat kedua, seperti waktu Ashar dan Isya’ lantas ia diwajibkan kerjakan dua shalat sekaligus (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’), insya Allah ada tulisan tersendiri mengenai hal ini. Semoga Allah mudahkan.

Sabtu, 08 Januari 2011

Buah dari Amalan Kebaikan yang Paling Asasi


Buah dari amalan kebaikan itu amat mulia. Sebaliknya buah dari amalan kejelekan amat parah. Para salaf seringkali mengatakan, “Buah dari amalan kebaikan adalah kebaikan yang selanjutnya. Sedangkan buah dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya”. Ada kebaikan yang paling asasi yang akan memberikan buah yang baik yang mesti setiap muslim mencurahkan perhatian spesial untuknya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al Lail: 5-11)
Di antara tafsiran ayat di atas sebagaimana disebutkan oleh penulis Al Jalalain, “Barangsiapa yang menunaikan hak Allah dan bertakwa kepada-Nya, serta membenarkan kalimat “laa ilaha illallah”, maka ia akan dimudahkan menuju surga. Sebaliknya, barangsiapa enggan menunaikan hak Allah, merasa cukup dari ganjaran-Nya, dan mendustakan kebajikan, maka ia akan dikembalikan pada kerugian yaitu jurang neraka.” (Tafsir Al Jalalain,596)
Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas, dapat kita lihat dari perkataan sebagian salaf, “Balasan dari amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Sedangkan balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan yang selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/372)
Amalan kebaikan yang paling utama adalah tauhid, mengesakan Allah dan tidak menjadikan satu pun makhluk sebagai sekutu bagi-Nya. Dari tauhid inilah muncul berbagai kebaikan lainnya. Sedangkan kerusakan yang paling parah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Buah dari kebaikan tauhid akan memunculkan kebaikan lainnya. Sebaliknya kesyirikan akan memunculkan kerusakan lainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah ilmu yang amat berharga. Beliau rahimahulah berkata, “Tahun ibarat pohon. Bulan ibarat cabangnya. Hari ibarat rantingnya. Jam ibarat daunnya. Nafas ibarat buahnya. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk ketaatan pada Allah, maka hasil dari pohonnya adalah buah yang baik. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk maksiat, maka  buahnya adalah hanzholah (buah yang pahit). Setiap orang akan memetik buah dari hasil usahanya pada hari kiamat nanti. Ketika dipetik barulah akan ia rasakan manakah buah (hasil) yang manis dan manakah yang pahit.
Ketahuilah bahwa ikhlas dan tauhid akan menumbuhkan tanaman dalam hati, memunculkan cabang dalam amalan dan menghasilkan buah kehidupan yang baik di dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Sebagaimana pula buah di surga tidak mungkin seseorang terhalang untuk memperolehnya, begitu pula dengan buah dari ikhlas dan tauhid di dunia.
Sedangkan syirik, perbuatan dusta dan riya’ akan menumbuhkan tanaman dalam hati dan menghasilkan buah di dunia berupa rasa takut, khawatir, sedih, sempitnya hati dan kelamnya hati. Sedangkan di akhirat ia akan merasakan makanan yang tidak menyenangkan dan adzab yang pedih.
Inilah dua pohon yang dimisalkan Allah dalam surat Ibrahim.” –Demikian faedah berharga dari Ibnul Qayyim- (Al Fawaid, 158).
Surat Ibrahim yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim adalah pada ayat berikut (yang artinya), “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26)
Pelajaran menarik dari sini, sesungguhnya asal dari segala kebaikan adalah dengan baiknya aqidah dan tauhid seorang hamba. Amalan shalat, puasa, sedekah dan haji bisa bermanfaat jika memang tauhidnya benar. Coba bayangkan jika seseorang beramal, namun malah dicampuri dengan perbuatan tidak ikhlas, hanya mengharapkan pujian manusia semata, alias riya’? Sungguh, yang terjadi amalan tersebut jadi sia-sia belaka. Lebih-lebih lagi jika yang dilakukan adalah perbuatan syirik akbar yang dapat membatalkan keislaman seseorang. “Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
Amalan yang teramat mulai seperti haji yang ia lakukan bisa jadi sia-sia dikarenakan perbuatan syirik. Jadikanlah perhatian utama dalam aqidah dan tauhid sebelum sibuk memperhatikan amalan lainnya. Jika tauhid ini telah baik, maka itu akan membuahkan amalan kebaikan lainnya dan terus membuahkan kebaikan selanjutnya.
Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang selalu mentauhidkan-Mu dan selalu menjauhkan diri dari menyekutukan-Mu dengan selain-Mu.
Hanya Allah yang beri taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.(*)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal